Permintaan litium melonjak beberapa tahun terakhir, salah satunya karena produsen mobil mulai memproduksi kendaraan listrik.
Faktanya, dibutuhkan litium lima kali lebih banyak dari jumlah yang sudah ditambang saat ini untuk bisa memenuhi target iklim pada 2050, menurut Bank Dunia.
Tapi ada satu masalah besar. Menambang litium dengan cara konvensional menimbulkan dampak lingkungannya sendiri. Lebih tepatnya, berdampak pada tiga hal besar seperti emisi karbon, air, dan tanah.
Menurut Wahyu Timbul, Ga ada yg bener2 ramah lingkungan, hanya saja EV (Electrical Vehicle) area pencemarannya terpusat di lini produksi, kalau BBM pencemarannya merata.Jadi konsep ramah lingkungannya lebih ke kota/ pemakai kendaraannya.
Lain lagi dengan Hadika, manufaktur mobil EV memang lebih tidak ramah lingkungan dibanding mobil IC, karena bahan baku baterainya banyak mengambil barang tambang... EV itu dibilang ramah lingkungan karena output dari kendaraannya bersih, bukan berarti ekosistem EV itu bener bersih, tapi at least EV bisa mengurangi polusi di kota besar, karena polusinya pindah ke PLTU.
Ravhy mwnmbahkan, Simpelnya, segala hal yang cara mendapatkannya dengan merusak alam jelas ada dampaknya mbah... jadi yang koar-koar "ayo beralih ke kendaraan listrik, kita menyumbang dan menjaga alam sekitar", bayangkan pembangkit listriknya dari Uap GAS / Batubara.
Mofu juga menulis Sebenernya sama aja mbah. Sama-sama punya waste products, sama-sama bikin polusi, sama-sama bikin limbah. Sayangnya belum ada yang bikin komparasi hitungan detailnya untuk per jarak tempuh, energi yang dihasilkan/dibutuhkan, polutan saat produksi energinya, dan polutan/limbah sisa pemakaiannya. Atau mungkin sudah ada, tapi kita tidak tahu.
Sumber : Human on Wheels dan FB Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar